Episode 1
Pagi yang sejuk untuk memulai aktivitas. Sang tuan siang hari sudah mulai muncul. Hangat sinarnya bertanda kebesaran penciptaNya Yang Maha Kuasa. Ditemani sang awan comulus membuat pagi di sudut desa kecil yang sejuk ini semakin aku rindukan kala aku jauh di luar sini. Tak kudapati pagi yang indah seperiti ini di perantauan yang membinasakan. Membinasakan badan yang kering keronta. Sungguh, rindunya diriku dengan desa kecilku itu.
Di jendela masih terlihat sisa embun. Sisa air yang mengalir pertanda betapa kuat dominasinya. Mengalir tanpa pola yang pasti. Tubuh ini masih terbalut selimut tebal. Maklum, Kawan, hari minggu adalah hari yang boleh sedikit tidak teratur. Hasil seleksi kemarin masih tersimpan baik di talamusku. Buktinya, meski aku tidur dia pun jadi bunga tidurku.
Di mimpiku sungguh indah, Kawan, kupegang erat sekali tropi juara 1 bak memagang kaki angsa yang akan disembelih setiap hari raya Idul Fitri. Maklum saja, Kawan, waktu itulah kesempatan untuk menikmati sayur daging. Aku terlihat gagah sekali. Tak terlihat tanda-tanda anak petani yang sengsaranya tak terperikan. Tak kulihat di mimpiku itu kuku busuk milikku, busuk hitam karena terkena lumpur sawah yang tiada tara bau busuknya.
“Duh, sudah jam delapan nih!” sambil kulirik jam dinding yang lebih tua umurnya dariku. Jam keramat.
Aku ada janji untuk datang di kediaman temanku untuk membahas strategi dan tipe soal yang mungkin akan keluar di perlombaan. Akhirnya tiba juga di depan rumah yang sering jadi markas kami ini. Tinggal menghitung hari lagi, Kawan. Tiga hari yang menentukan apakah kami akan jadi juara atau jadi pecundang yang tak terperikan karena menjadi bantaian kelompok lain.
“Nan, lama sekali kau datang ini?”
“Tenang, Boy, kau belum berjamuran kan?!”
“Tak, tapi aku sudah kering begini, Boy, cuma nunggu kau. Aku harus rela membersihkan halaman depan untuk meeting kita ini, sendiri.”
“Gayamu meeting lah, Boy,” sambil geleng-geleng kepala.
Kami larut dengan diskusi mengenai prediksi tipe soal yang akan keluar. Bermula dari pengetahuan umum hingga khusus, terlebih pelajaran yang kusuka, Kawan, biologi. Biologi bak saudara bagiku. Kehidupan tak ubah seperti sistem metabolisme dalam pelajaran biologi. Oksigen yang menjadi aktor penggerak, membakar karbohidrat yang menghasilkan energi yang akan kita butuhkan untuk beraktivitas. Saling terikat, saling mendukung, tak bisa berdiri sendiri. Begitu juga dengan kehidupan ini.
Kawan, kita tak bisa saling berdiri sendiri. Bukankah kita makhluk sosial? Yang dalam agama kita pun telah dijelaskan untuk saling mengenal karena kita diciptakanNya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, Kawan. Karena kita hidup bukan untuk menjadi super hero melain super team, super keluarga, masyarakat lebih besar lagi.
Berakhir juga pertemuan kami dengan ditandai mega merah di sekitar matahari yang akan pamitan karena telah menunaikan tugasnya.
(bersambung)
http://eramadina.com/satulangkah/
Pagi yang sejuk untuk memulai aktivitas. Sang tuan siang hari sudah mulai muncul. Hangat sinarnya bertanda kebesaran penciptaNya Yang Maha Kuasa. Ditemani sang awan comulus membuat pagi di sudut desa kecil yang sejuk ini semakin aku rindukan kala aku jauh di luar sini. Tak kudapati pagi yang indah seperiti ini di perantauan yang membinasakan. Membinasakan badan yang kering keronta. Sungguh, rindunya diriku dengan desa kecilku itu.
Di jendela masih terlihat sisa embun. Sisa air yang mengalir pertanda betapa kuat dominasinya. Mengalir tanpa pola yang pasti. Tubuh ini masih terbalut selimut tebal. Maklum, Kawan, hari minggu adalah hari yang boleh sedikit tidak teratur. Hasil seleksi kemarin masih tersimpan baik di talamusku. Buktinya, meski aku tidur dia pun jadi bunga tidurku.
Di mimpiku sungguh indah, Kawan, kupegang erat sekali tropi juara 1 bak memagang kaki angsa yang akan disembelih setiap hari raya Idul Fitri. Maklum saja, Kawan, waktu itulah kesempatan untuk menikmati sayur daging. Aku terlihat gagah sekali. Tak terlihat tanda-tanda anak petani yang sengsaranya tak terperikan. Tak kulihat di mimpiku itu kuku busuk milikku, busuk hitam karena terkena lumpur sawah yang tiada tara bau busuknya.
“Duh, sudah jam delapan nih!” sambil kulirik jam dinding yang lebih tua umurnya dariku. Jam keramat.
Aku ada janji untuk datang di kediaman temanku untuk membahas strategi dan tipe soal yang mungkin akan keluar di perlombaan. Akhirnya tiba juga di depan rumah yang sering jadi markas kami ini. Tinggal menghitung hari lagi, Kawan. Tiga hari yang menentukan apakah kami akan jadi juara atau jadi pecundang yang tak terperikan karena menjadi bantaian kelompok lain.
“Nan, lama sekali kau datang ini?”
“Tenang, Boy, kau belum berjamuran kan?!”
“Tak, tapi aku sudah kering begini, Boy, cuma nunggu kau. Aku harus rela membersihkan halaman depan untuk meeting kita ini, sendiri.”
“Gayamu meeting lah, Boy,” sambil geleng-geleng kepala.
Kami larut dengan diskusi mengenai prediksi tipe soal yang akan keluar. Bermula dari pengetahuan umum hingga khusus, terlebih pelajaran yang kusuka, Kawan, biologi. Biologi bak saudara bagiku. Kehidupan tak ubah seperti sistem metabolisme dalam pelajaran biologi. Oksigen yang menjadi aktor penggerak, membakar karbohidrat yang menghasilkan energi yang akan kita butuhkan untuk beraktivitas. Saling terikat, saling mendukung, tak bisa berdiri sendiri. Begitu juga dengan kehidupan ini.
Kawan, kita tak bisa saling berdiri sendiri. Bukankah kita makhluk sosial? Yang dalam agama kita pun telah dijelaskan untuk saling mengenal karena kita diciptakanNya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, Kawan. Karena kita hidup bukan untuk menjadi super hero melain super team, super keluarga, masyarakat lebih besar lagi.
Berakhir juga pertemuan kami dengan ditandai mega merah di sekitar matahari yang akan pamitan karena telah menunaikan tugasnya.
(bersambung)
http://eramadina.com/satulangkah/
|
|